BAB
I
PENDAHULUAN
Sebagaimana
telah kita tahu bahwa sumber Hukum yang pertama adalah Al- Qur’an. Tidak ada
orang yang bisa mengingkari bahwa setiap muslim tentang ingin mengetahui dan
mendalami ajaran-ajaran agamanya yang begitu luas. Untuk mengetahui dan
mendalami ajaran agama islam kita harus mempelajarinnya dari sumbernya yang
asli, yaitu Al-Qur’anul karim dan hadist Nabi dan kitab-kitab agama yang menjelaskan
kedua sumber asli tersebut.
Al-Qur’an itu
membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung
dalam sebagian ayat-ayatnya.
Karena kedudukan
Al-Qur’an itu sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka bila
seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang
harus ia lakukan adalah mencari jawaban penyelesaiannya dari Al-Qur’an selama
hukumnya dapat diselesaikan dengan Al-Qur’an, maka ia tidak boleh mencari
jawaban lari di luas Al-Qur’an, dan apabila kita akan menggunakan sumber hukum
lain di luas Al-Qur’an, maka harus sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an, dan tidak
boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Berarti bahwa
sumber-sumber hukum selain Al-Qur’an tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah
ditetapkan dalam Al-Qur’an.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Al-Qur’an
Secara
etimologis, Al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari kata Qa-ra-a
( ) se-wazan dengan kata
fu’lan( ), artinya: bacaan: berbicara tentang
apa yang tertulis padanya atau melihat dan menelaah. Dalam pengertian ini, kata
( ) berarti ( ),
yaitu isim maf’ul (objek) dari
( ).
Arti
al-Qur’an secara terminologis menurut sebagaian besar ulama fiqih adalah
sebagai berikut : “kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam
bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir,
membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf; dimulai dari surat
Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas.
Dari
definisi di atas, para ulama ushul fiqih menyimpulkan beberapa ciri khas
Al-Qur’an, antara lain sebagai berikut:
(Asy-Syaukani : 26-27)
1. Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang
diturunkan kepada Muhammad SAW.
2. Bahasa Al-Qur’an adalah bahasa arab
quraisy.
3. Al-Qur’an itu di nukilkan kepada
beberapa generasi sesudahnya secara mutawatir.
4. Membaca setiap kata dalam Al-Qur’an itu
mendapatkan pahala dari Allah, baik bacaan itu berasal dari hafalan sendiri
maupun di baca langsung dari mushaf Al-Qur’an.
5. Al-Qur’an dimulai dari surat Al-Fatihah
dan diakhiri dengan surat An-nas.
2.
Fungsi dan Tujuan Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an
diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk di sampaikan kepada umat
manusia bagi kemaslahatan dan kepentingan mereka, khususnya umat mukminin yang
percaya akan kebenarannya.
Bila
ditelusuri ayat-ayat yang menjelaskan fungsi turunnya Al-Qur’an kepada umat
manusia. Terlihat dalam beberapa bentuk ungkapan yang diantaranya adalah:
1. Sebagai hudan ( ) atau petunjuk bagi kehidupan umat.
2. Sebagai rahmat ( ) atau keberuntungannya
3. Sebagai furqan ( )
yaitu pembeda antara yang baik dengan yang buruk
4. Sebagai mau’izhah ( ) atau pengajaran yang akan mengajar dan
membimbing umat dalam kehidupannya
5. Sebagai busyra’ ( ) yaitu berita gembira
6. Sebagai “tibyan” ( )
atau “mubin” ( ) yang berarti penjelasan
7. Sebagai mushaddiq ( ) atau pembenar
8. Sebagai nur ( ) atau cahaya yang akan menerangi kehidupan
manusia
9. Sebagai tafsil ( )yaitu memberikan penjelasan secara
rinci.
10. Sebagai syifau al-shudur ( ) atau obat bagi rohani yang sakit.
11. Sebagai hakim ( ) yaitu sumber kebijaksanaan.
Al-Qur’an diturunkan
Allah secara berangsur-angsur dalam waktu yang cukup panjang, hampir sama
dengan masa risalah Nabi Muhammad, yaitu selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari.
Ada dua maksud
turunnya Al-Qur’an secara berangsur itu yaitu:
1. Untuk tasbit al fu’ad ( ), atau kemantapan hati.
2. Alasan penahapan turunnya ayat Al-Qur’an
itu adalah dengan tujuan untuk adanya tartil.
Tahap
turunnya Al-Qur’an itu dibagi kedalam dua tahap atau periode, yaitu:
a. Periode sebelum Nabi hijrah ke madinah.
Ayat-ayat yang turun dalam tahap ini disebut makiyah ( )
Ayat Al-Qur’an yang
turun dalam periode pertama lebih diarahkan kepada pembentukan ‘aqidah dan
moral islam.
b. Periode sesudah Nabi hijrah ke madinah.
Ayat-ayat yang diturunkan dalam periode ini disebut madaniyah.
Ayat Al-Qur’an yang
diturunkan dalam tahap-tahap ini lebih diarahkan kepada pembentukan masyarakat
islam, disamping pemantapan akidah.
3.
Mukjizat Al-Qur’an
Al-Qur’an
disebutkan bahwa salah satu criteria, yaitu “mengandung daya mukjizat setiap
surat dan ayatnya”.
Secara
etimologis (luqhawi), “mukjizat” berarti sesuatu yang dapat melemahkan,
sehingga orang lain tidak dapat berbuat yang sama atau melebihi.
Bentuk
kemukjizatan Al-Qur’an dapat dirangkum dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Dari segi keindahan bahasa
2. Dari segi pemberitaan mengenai kejadian
masa lalu yang kemudian terbukti kebenarannya dan sesuai dengan pemberitaan
kitab suci sebelumnya.
3. Dari segi pemberitaan Al-Qur’an tentang
hal-hal yang akan terjadi dan ternyata memang kemudian terjadi.
4. Dari segi kandungannya akan hakikatnya
kejadian alam dengan seisinya serta hubungan antara satu dengan lainnya.
5. Dari segi kandungannya mengenai pedoman
hidup yang menuntun manusia mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
4.
Al-Qur’an Adalah Lafazh dan Makna
Al-Qur’an adalah
meliputi lafazh dan makna. Ia meruapkan kitab suci yang berbahasa arab,
sebagaimana firman Allah SWT. Yang berbunyi.
Artinya:
“Sesungguhnya
kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya”
(Qs.
Yusuf : 2)
Juga firman
Allah SWT. Dalam Surat Fushshilat:
Artinya:
“Kitab
yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang
mengetahui,”
(Qs.
Fushshilat : 3)
Oleh karena itu
penerjemahan terhadap sebagian makna-makna Al-Qur’an kepada bahasa selain Arab
tidak bisa disebut Al-Qur’an sebagian pengarang mengatakan bahwa imam hanafah
berpendapat bahwa:
Penerjemahan
sebagian ayat-ayat suci Al-Qur’an ke bahasa dalam Bahasa selain Arab dapat
disebut Al-Qur’an, kerena diaa memperbolehkan membaca terjemahan Al-Qur’an
dalam bahasa persi sewaktu mengersakan shalat, meskipun bagi orang yang mampu
berbahasa arab.
5.
Al-Qur’an Adalah Berbahasa Arab
Al-Qur’an adalah
kitab suci yang di turunkan oleh Allah SWT. Dengan falfazh dan sekaligus
maknyanya ia diturunkan dengan memakai bahasa arab.
Imam syafi’I
dalam kitabnya risalat a-uslul menjelaskan, landasan bahwa Al-Qur’an itu bahasa
arab ada dua hal, yaitu:
1. Bagi seseorang yang tidak mengetahui
uslub-uslub bahasa Arab secara mendalam, maka tidak diperbolehkan menjaelaskan
makna-makna yang terkandung dalam Al-Qur’an oleh karena itu ia harus mengetahui
lafazh-lafazh umum beserta di lalah-nya, kedudukan lafazh-lafazh khas yang
berhadapan dengan lafazh-lafazh ‘am’ lafazh-lafazt mujmal, musytarak,
mufashshal dan sebagainya. Dengan demikian ia akan mampu menggali hukum-hukum
fiqh dari Al-Qur’an
2. Bagi setiap orang islam, wajib
mengetahui bahasa Arab, minimal sekedar untuk dapat beragama dengan benar serta
mampu membaca dan memahami Al-Qur’an karena membaca Al-Qur’an kurang berarti
jika tidak memahami maknanya.
6.
Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum
Al-Qur’an adalah
syari’at islam yang bersifat menyeluruh. Ia merupakan sumebr dan rujukan yang
pertama bagi syari’at, karena didalamnya terdapat kaidah-kaidah yang bersifat
global beserta nilainya.
Jika Al-Qur’an
merupakan syari’at islam yang bersifat menyeluruh, maka mayoritas penjelasannya
dalah bersifat global, dan sedikit sekali yang terinci. Seseorang yang meneliti
hukum-hukum dalam Al-Qur’an, niscaya akan menemukan penjelasannya adalah
tigamacam, yaitu:
1. Penjelasan Al-Qur’an yang bersifat
sempurna dalam hal ini sunnah berfungsi untuk menetapkan makna yang
dikandungnya.
2. Nash Al-Qur’an bersifat mujmal (global)
sedangkan sunnah berfungsi untuk menjelaskannya, seperti perintah membayar
zakat, nash Al-Qur’annya adlah bersifat mujmal, kemudian disebarkan secukupnya
oleh sunnah. Contoh lain ialah, lafazh-lafazh yang tidak jelas maknanya,
kecuali setelah dijelaskan oleh sunnah.
3. Nash Al-Qur’an hanya menjelaskan
pokok-pokok hukum, baik dengan isyarat, maupun dengan ungkapan langsung, kemudian
sunnah merinci hukum tersebut dengan sempurna.
Ayat-ayat Al-Qur’an
dari segi kejelasan artinya ada dua macam. Keduanya dijelaskan Allah Al-Qur’an
surat Ali’imran (3):7, yaitu : secara
-
Muhkam
dan
-
Mutasyabih
Artinya:
“Dia-lah
yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat”.
1. Ayat muhkum adalah ayat yang jelas
maknanya tersingkap se-cara terang, sehingga menghindarkan keraguan dalam
mengartikannya dan menghilangkan adanya beberapa kemungkinan pemahaman
2. Ayat mutasyabih adalah kebalikan dari
yang muhkam, yaitu ayat yang tidak fasti arti dan maknanya, sehingga dapat
dipahami dengan beberapa kemungkinan.
Ada
beberapa kemungkinan pemahaman itu dapat disebabkan oleh dua hal:
1. Lafaz itu dapat digunakan untuk dua
maksud dengan pemahaman yang sama misalnya: firman Allah:
Artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu)”
Kata quru’ dalam ayat tersebut dapat
berarti suci, juga bisa berarti haidh, sebagian fuqaha, lebih cenderung member
arti haidh, sedangkan sebagian yang lain lebih cenderung member arti suci.
Dengan demikian, adalah nash tersebut terhadap salah satu dari dua makna
(pengertian) di atas bersifat zhanni, sebab jika mempunyai dialah qath’i, pasti
tidak akan menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama.
2. Lafaz yang menggunakan nama atau kisah
yang menurut lahirnya mendatangkan keraguan-keraguan ini disebabkan penggunaan
sifat yang ada pada manusia untuk Allah SWT. Padah Allah SWT tidak sama dengan
makhluknya umpamanya penggunaan kata “wajah” atau “muka” untuk Allah
(Ar-Rahman[55]:27) dan penggunaan kata “bersemayam” untuk Allah (yunus [10] :
3).
Dalam
menjelaskan hukum-hukum syara’, Al-Qur’an menggunakan bentuk unggkapan
(shighat) yang bermacam-macam.
Oleh karena itu,
dalam menjelaskan hukum-hukum syara’, Al-Qur’an menggunakan bermacam-macam
bentuk ungkapan. Diantaranya ialah sebagai berikut:
1. Bentuk perintah. Firman Allah
Artinya:
“Dan hendaklah kamu
tegakkan kesaksian itu Karena Allah.”
(QS. Al-Tlaaq)
2. Bentuk larangan. Firman Allah
Artinya:
“Dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu
(alasan) yang benar”
(Qs. Al Israa' : 33)
3. Dengan menetapkan, bahwa suatu perbuatan
itu diwajibkan difardhukan, firman Allah.
Artinya:
“diwajibkan atas kamu
qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh”
(Qs. Al-Baqarah : 178)
4. Menyebutkan larangan, dengan meniadakan
kebaikan dalam suatu perbuatan.
5. Bentuk perintah dengan menyebutkan
akibat dari suatu perbuatan, baik berupa pahala bagi yang menyakitinya, maupun
siksa bagi yang menentangnya.
7.
Hukum Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an
Secara garis
besar hukum-hukum dalam Al-Qur’an dapat di bagi tiga macam.
1. Hukum-hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah SWT. Mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang harus
dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah
dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut
hukum I’tiqadiyah yang dikaji dalam “ilmu tauhid” atau ushuluddin.
2. Hukum-hukum yang mengatur hubungan
pergaulan manusia mengenai sifat-sifat baik yang harus dimiliki dari
sifat-sifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi
dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum Khuluqiyah
yang kemudian dikembangkan dalam “ilmu Akhlak”.
3. Hukum-hukum yang menyangkut tindakan
tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah SWT. Dalam
hubungan dengan sesame manusia, dan dalam bentuk apa-apa yang harus dilakukan
atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum Amaliyah yang pembahasannya
dikembangkan dalam “ilmu syariah”
Hukum Amaliyah tersebut, secara garis besar terbagi
dua:
1. Hukum yang mengatur tingkah laku dan
perbuatan lahiriah manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT. Seperti shalat,
puasa, zakat, dan haji. Hukum ini disebut hukum Ibadah dalam arti khusus.
2. Hukum-hukum yang mengatur tingkah laku
lahiriah manusia dalam hubungannya dengan manusia atau alam sekitarnya seperti
jual beli, kawin, pembuhuhan, dan lainnya. Hukum-hukum ini disebut hukum
mu’amalah dalam arti umum.
Dilihat dari
segi pemberlakuannya bagi hubungan sesame manusia, bentuk hukum Mu’amalah itu
ada beberapa macam yaitu:
a. Hukum yang mengatur hubungan antara
sesame manusia yang menyangkut kebutuhannya akan harta bagi keperluan hidupnya.
Bentuk hukum ini disebut “hukum mu’amalat dalam arti khusus”. Contoh: jual
beli, sewa menyewa, pinjam meminjam dll.
b. Hukum yang mengatur hubungan antara
sesame manusia yang berkaitan dengan kebutuhannya akan penyaluran nafsu syahwat
secara sah dan yang berkaitan dengan itu. Bentuk hukum ini desebut “hukum
munakahat” contohnya, seperti : kawin, cerai, rujuk, dan pengasuhan atas anak
yang dilahirkan.
c. Hukum yang mengatur hubungan antara
sesama manusia yang menyangkut perpindahan harta yang tersebab oleh karena
adanya kematian. Bentuk hukum ini disebut hukum “mawarits” dan “wasiat”.
d. Hukum yang mengatur hubungan antara
manusia dengan manusia lahirnya yang berkaitan dengan usaha pencegahan
terjadinya kejahatan atas harta, maupun kejahatan penyaluran nafsu syahwat atau
menyangkut kejahatan dan sanksi bagi pelanggarnya, bentuk hukum ini disebut
hukum jinayah atau pidana. Contohnya: pencurian, pembunuhan, penzinahan, dan
lainnya.
e. Hukum yang mengatur hubungan antara
sesame manusia yang berkaitan dengan usaha penyelesaian akibat tindak kejahatan
dipengadilan. Bentuk hukum ini disebut hukum “murafa’at” atau hukum “qadha”,
disebut” hukum acara”. Contohnya kesaksian, gugatan, dan pembuktian di
pengadilan.
f. Hukum yang mengatur hubungan antara manusia
dengan manusia lain yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara
disebut hukum dusturiyah. Umpamanya tentang ulil amri, khalifah, baitulmal,
disebut juga hukum tata Negara.
g. Hukum yang mengatur hubungan manusia
dengan sesamanya dalam suatu Negara dengan manusia dinegara lain, dalam keadaan
damai dan keadaan perang, bentuk hukum ini disebut “hukum antar Negara” atau
“hukum dualiyah”, disebut dengan “hukum internasional” contohnya, seperti
tentang tawanan, ekstradisi, perjanjian, pelepasan perang, dan lainnya.
8.
Hukum Muamalah dalam Al-Qur’an
Allah SWT. Telah
menjelaskan pokok-pokok muamalah kehartabendaan yang adil dan diperbolehkan
dalam Al-Qur’an
Adapun dasar
yang dijadikan prinsip dalam muamalah kehartabendaan, ada dua hal, yaitu:
1. Melarang memakan makanan yang batil
2. Saling merelakan.
Perniagaan yang
diperbolehkan dalam mu’amalah yang islami adalah perniagaan yang dapat
memperoleh keuntungan disamping juga bisa menimbulkan kerugian.
Oleh karena itu,
perniagaan yang tidak bisa menimbulkan kerugian tidak dapat disebut
perdagangan, sehingga tidak diperbolehkan melakukan riba. Al-Qur’an telah
mengancam keras terhadap orang-orang yang bermu’amalah dengan memakai riba,
Sebagian dari
bentuk memakan harta kekayaan orang lain, ialah suap menyuap. Pada dasarnya,
setiap tindakan untuk mengembangkan harta kekayaan itu diperbolehkan, tidak
diharamkan, seperti diperbolehkannya perniagaan asalkan saling rela. Hanya saja
untuk mengatur akad yang serius, Al-Qur’an menuntut dua hal sebagai berikut:
1. Akad tersebut disaksikan oleh orang lain
2. Jika akad perniagaan tersebut
ditangguhkan (tidak cash), maka hendaklah hutang dan harga barang itu ditulis,
untuk menghindari percek cokan kelak di kemudian hari. Jika mereka tidak
memperoleh penulis lantaran digengah perjalanan, maka hendaklah ada barang
tanggungan untuk menghindarkan diabaikannya suatu hak. Semua ini dijelaskan
dalam kitab suci Al-Qur’an, berkenaan dengan masalah hutang piutang.
9.
Hukum Keluarga
Prantara
hukum-hukum yang dijelaskan dalam Al-Qur’an ialah hukum-hukum yang berkenaan
dengan masalah Keluarga. Diantara hukum-hukum syara’ yang di paparkan dalam
Al-Qur’an, hanya hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah Keluarga inilah yang
dijelaskan secara terinci. Misalnya, hukum-hukum tentang pernikahan, mahram,
perceraian, macam-macam iddah dan tempatnya, pembagian harta pusaka (faraidh)
dan sebagai-nya, yang kesemuanya itu dijelaskan secara rinci oleh Al-qur’an dan
disempurnakan oleh sunnah sehingga seakan-akan tidak ada satu pun hukum-hukum
tentang Keluarga yang tidak didasarkan pada nash-nash Al-Qur’an dan sunnah.
Dalam mengakhiri
ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum-hukum Keluarga, Allah SWT selalu
menutup dengan kalimat-kalimat yang mengandung pesan-pesan seperti berikut:
Dalam surat
at-thalaq berbunyi:
Artinya:
“Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia
Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri”.
(Qs.
At-Thalaq : 1)
10.
Hukum Pidana
Al-Qur’an telah
banyak menjelaskan tentang hukum-hukum pidana berkenaan dengan masalah-masalah
kejahatan. Secara umum hukum pidana atas kejahatan yang menimpa seseorang
adalah dalam bentuk qishash yang didasarkan atas persamaan antara kejahatan dan
hukuman. Diantara jenis-jenis hukum qishash yang disebutkan dalam Al-Qur’an
ialah: qishash pembunuh, qishash anggota badan dan qishash dari luka. Semua
kejahatan yang menimpa seseorang, hukumnya adalah dianalogikan dengan qishash
yakni didasarkan atas persamaan antara hukuman dengan kejahatan, karena hal itu
adalah tujuan pokok dari pelaksanaan hukum qishash.
Qishash terbagi
menjadi 2 macam yaitu:
1. Qishash shurah, dimana hukuman yang
dijatuhkan kepada seseorang itu sejenis dengan kejahatan yang dilakukan.
2. Qishash ma’na, dimana hukum yang
dijatuhkan kepada seseorang itu cukup dengan membayar diyat.
Hukuman yang
ditetapkan Al-Qur’an tersebut disebut dengan Al-Hudud (jamak dari had) yang
jenisnya banyak sekali, diantaranya ialah:
Had zina, had
pencurian, had penyamun, had menuduh seseorang berbuat zina dan sebagainya.
Dalam menetapkan
hukum-hukum pidana, Al-Qur’an senantiasa memperhatikan empat hal dibawah ini:
a. Melindungi jiwa, akal agama harta benda
dan keturunan.
b. Meredam kemarahan orang yang terluka,
lantaran ia dilukai.
c. Memberikan ganti rugi kepada orang yang
terluka atau Keluarganya, bila tidak dilakukan qishash dengan sempurna,
lantaran ada suatu sebab.
d. Menyesuaikan hukum dengan pelaku
kejahatan.
11.
Hubungan Antara Hakim dan Orang yang Dijatuhi
Hukuman
Al-Qur’an telah
menjelaskan kaidah-kaidah tentang hubungan antara hakim dengan orang dijatuhi hukuman.
Kaidah-kaidah tersebut dapat disimpulkan menjadi lima dasar sebagai berikut:
1. Keadilan, firman Allah
Artinya:
“Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil”.
(Qs. An-Nisa’ : 58)
Pengertian adil
dalam ayat-ayat Al-Qur’an diatas ialah keadilan seorang hakim terhadap orang
yang dijatuhi hukuman-keadilan pemimpin terhadap pengikut (rakyat)Nya, serta
keadilan manuis dengan sesame manusia.
Konsekuensi logis
dari keadilan tersebut ialah:
a. persamaan yang mutlak dalam menerapkan
hukum-hukum Al-Qur'an. Sehingga seorang yang terhormat, tidak boleh
diselamatkan dari hukuman, seorang hakim tidak bisa dihindarkan dari tountutan
yang diajukan oleh yang dijatuhi hukuman.
b. Keadilan social, yakni setiap orang
dapat terjamin kehidupannya.
c. Setiap orang harus mampu memanfaatkan
setiap kesempatan yang dimiliki untuk melaksanakan kegiatan kegiatan sesuai
dengan kemampuannya.
d. Persamaan yang mutlak antara pekerjaan
dengan upah. Setiap orang yang bekerja ia harus memperoleh hasil dari
pekerjaannya tanpa dikurangi sedikitpun.
2. Musyawarah, firman Allah
Artinya:
“Sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka”
(Qs.
Asy Syuura : 38)
3. Tujuan kepada kebaikan serta membawa
maslahat kepada umat islam.
4. Tolong menolong, antara hakim dengan
orang yang dijatuhi hukuman, serta antara orang mukmin
5. Melindungi masyarakat, dari sifat-sifat
yang hina disamping juga melindungi harta benda, jiwa, kehormatan dan agama
mereka.
12.
Perlakuan Terhadap Non-Muslim
Al-Qur’an
menganggap bahwa semua manusia berhak mendapatkan penghormatan yang sama, tanpa
memperdulikan perbedaan jenis kelamin, ras, atau kebangsaannya. Karena itu
Allah SWT berfirman:
Artinya:
“ Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak
Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], kami beri mereka rezki
dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna
atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan”.
(Qs.
Al Israa' : 70)
Persamaan hak
dan kewajiban antar sesame manusia merupakan hak yang bersifat alamiah yang
dimiliki mereka sesuai dengan fitrahnya,
Dengan jiwa
ajaran agama yang luhur itu, Al-Qur’an menetapkan hak-hak kemanusiaan bagi
orang luas (mukhalif, out group) sama kadarnya dengan yang ditetapkan bagi
orang dalam (muwafiq, in group), baik perbedaan itu menyangkul warna kulit,
agama maupun ras.
Al-Qur’an
membagi mereka yang termasuk orang luas (mukhalif, out group) ke dalam tiga
macam yaitu:
1. Kafir dzimmy dan mu’ahad (yang telah
mengikat perjanjian).
2. Kafir musta’man (kafir yang dianggap
aman/tidak membahayakan)
3. Kafir harby (musuh)
Hak-hak
bagi orang mukhlif, out group ada 5 sebagai berikut:
1. Hak penghormatan terhadap harkat dan
mertabat kemanusiaan, baik dalam suasana perang maupun damai. Oleh sebab itu
Allah melarang dalam peperangan, perlakuan penganiayaan dengan siksaan untuk
pelajaran bagi orang lain.
2. Hak uthuwwah insaniyah (persaudaraan
kemanusiaan). Banyak sekali nash-nash Al-Qur’an yang sharih yang menerangkan
bahwa umat manusia pada hakekatnya bersaudara.
3. Hak keadilan meskipun mereka termasuk
kafir musuh (baiby). Sebab keadilan merupakan hak asasi (thabi’i) yang
ditetapkan Al-Qur’an baik bagi kawan maupun lawan.
4. Hak perlakuan sepadan / sebanding dengan
memperhatikan keutamaan maka tidak diperbolehkan berlaku aniaya walaupun berada
ditengah medan peperangan.
5. Hak menepati janji, sepanjang pihak
musuh konsisten dengan janjinya, dan tidak terlihat adanya tanda-tanda hendak
merusak janji itu. Sendainya Nampak jelas adanya bukti-bukti empris yang
menunjukkan hal tersebut (mereka merusak perjanjian) maka perjanjian tiu tidak
lagi berlaku mengikat.
13.
Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Fiqh
Atas dasar bahwa
hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah laku manusia mukalaf,
maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (lawgiver) adalah Allah SWT.
Ketentuan-Nya itu terdapat dalam Kumpulan wahyu-Nya yang disebut Al-Qur’an
dengan demikian, ditetapkan bahwa Al-Qur’an itu sumber utama bagi hukum islam,
sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh Al-Qur’an itu membimbing dan memberikan
petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian
ayat-ayatnya.
Karena kedudukan
Al-Qur’an itu sebagai sumber utama dan petama bagi penetapan hukum, maka bila
seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang
harus ia lakukan adlah mencari jawaban penyelesaiannyadari Al-Qur’an, selama
hukumnya dapat diselesaikan dengan Al-Qur’an, maka ia tidak boleh mencari
jawaban lain dari luar Al-Qur’an.
Selain itu,
sesuai dengan kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber utama atau pokok hukum islam
berarti Al-Qur’an itu menjadi sumber dari segala sumber hukum karena itu, jika
akan menggunakan sumber hukum lain diluar Al-Qur’an, maka harus sesuai dengan
petunjuk Al-Qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
Al-Qur’an. hal ini berarti bahwa sumber-sumber hukum selain Al-Qur’an tidak
boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an.
Kekuatan hujah
Al-Qur’an sebagai sumber dari dalil hukum fiqh terkandung dalam ayat Al-Qur’an
yang menyeluruh umat manusia mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih 30 kadi
dari Al-Qur’an perintah mematuhi Allah itu berarti perintah mengikuti apa-apa
yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa:
1. Al-Qur’an adalah “Kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam bahasa arab yang dinukilkan kepada
generasi sesudahnya secara mutawatir. Membacanya merupakan ibadah.
2. Kedudukan Al-Qur’an adalah sebagai
sumber hukum yang pertama karena Al-Qur’an adalah syari’at islam yagn bersifat
menyeluruh.
3. Fungsi turunnya Al-Qur’an adalah:
a. Sebagai hudan atau petunjuk bagi
kehidupan umat.
b. Sebagai rahmat atau keberuntungan.
c. Sebagai furqan yaitu pembeda yang baik
dengan yang buruk.
d. Sebagai pengajaran yang akan mengajarkan
dan membimbing umat dalam kehidupannya.
e. Sebagai berita gembira.
f. Sebagai penjelasan.
g. Sebagai pembenar.
h. Sebagai cahaya yang akan menerangi
kehidupan manusia.
i.
Sebagai
tafsil yaitu memberikan penjelasan secara rinci.
j.
Sebagai
syifau al shudur atau obat bagi rohani yang sakit.
k. Sebagai hakim.
4. Penjelasan Al-Qur’an bersifat global
atau menyeluruh karna penjelasan Al-Qur’an terhadap hukum berlaku secara garis
besar, sehingga masih memerlukan penjelasan dalam felaksanaannya,
3.1.
Analisa
Al-Qur’an
merupakan sumber hukum yang paling utama. Karena semua hukum-hukum itu ada
dalam Al-Qur’an tetapi Al-Qur’an tidak menjelaskannya secara terperinci
sehingga As-Sunnah yang menjelaskannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Syarifuddin Amir, 2008. Usul Fiqh Jilid 1. Cetakan kelima,
Jakarta: Kencana.
Abu Zahra Muhammad. 2003. Usuh Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus.
S. Praja Juhaya. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
0 comments
Posting Komentar